Peniru Ulung yang Harus Ditaklukkan
Namanya mirip lakon film tentang remaja usil dan bandel yang ngetop pada era 1980-an. Namun, lupus yang satu ini adalah nama penyakit yang mengganggu sistem pertahanan tubuh. Hingga kini belum diketahui persis penyebab dan obat yang benar-benar manjur.Di seluruh dunia diperkirakan terdapat lebih dari 5 juta pasien lupus dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 pasien baru, baik usia anak-anak, dewasa, laki-laki maupun perempuan.

Di Indonesia, tidak dapat diperkirakan persis berapa jumlah penderitanya. Diduga jumlah pasien lupus di Indonesia paling tidak sama dengan jumlah pasien lupus di Amerika, yaitu 1,5 juta orang. Akan tetapi, kesulitan diagnosa dokter menjadikan jumlah pasien yang dijumpai jauh dari angka perkiraan.

Penyakit lupus disebut peniru ulung karena gejalanya muncul mirip dengan gejala-gejala beberapa penyakit lain. Sesama pasien lupus sangat mungkin dan sering dijumpai datang dengan keluhan awal yang berbeda.

Seseorang bisa jadi datang ke dokter dengan keluhan peradangan sendi layaknya rematik. Pada waktu lain, datang pasien dengan demam tinggi layaknya gejala tifus. Atau, pasien dengan kaki dan perut bengkak akibat kerusakan ginjal.

Ada juga pasien yang memiliki gejala anemia berat disertai jumlah sel darah merah (trombosit) yang sangat rendah. Setelah melalui sejumlah pemeriksaan dan uji laboratorium, serta analisa riwayat kesehatan pasien, ternyata mereka sama-sama dihinggapi lupus.

Karena sifat peniru tersebut, penyakit ini tergolong sukar dideteksi dokter. Kesabaran dan ketenangan pasien, keluarga, serta dokter mutlak dibutuhkan untuk memutuskan apakah pasien benar-benar terjangkiti lupus.

Menurut Prof Dr Zubairi Djoerban SpPD KHOM dari Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, penyakit lupus juga disebut dengan penyakit otoimun. Artinya, antibodi yang terbentuk di dalam tubuh pasien justru merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, dan sel darah putih.

Padahal, antibodi dalam tubuh seharusnya dibentuk untuk melindungi tubuh dari serangan bakteri atau virus yang berpotensi menimbulkan penyakit.

Antibodi yang menyerang organ tubuh manusia muncul karena aktivitas sistem kekebalan tubuh yang berlebihan.

Jenis-jenis lupus

Terdapat tiga jenis lupus yang berhasil diidentifikasi, masing-masing diskoid lupus (DL), drug induced lupus (DIL), dan systemic lupus erythematosus (SLE).

Jenis DL menyerang bagian kulit yang terlihat dari perubahan warna kulit di wajah, leher, kulit kepala, dan sekujur tubuh. Umumnya kemerahan, bersisik, dan gatal. Karena bentuknya yang khas, maka lupus sering diidentikkan dengan kupu-kupu.

Untuk jenis DIL, diidentifikasikan karena efek samping obat yang dikonsumsi dalam jangka panjang. Terdapat 38 jenis obat yang dapat menyebabkan DIL, dua di antaranya obat darah tinggi (hidralazine) dan obat untuk detak jantung yang tidak teratur (prokainamide).

Akan tetapi, tidak semua orang yang mengonsumsi obat-obat tersebut akhirnya terserang lupus jenis DIL. Kemungkinannya hanya sekitar 4 persen.

Jenis terakhir adalah SLE. Jenis ini dikenal paling berbahaya karena menyerang beberapa organ dalam tubuh manusia sekaligus, seperti ginjal, jantung, paru-paru, saraf, dan otak. Akan tetapi, pada sebagian penderita hanya menyerang kulit dan sendinya.

Perempuan lebih banyak

Tanpa diketahui persis penyebabnya, kasus lupus lebih sering dijumpai pada pasien perempuan berusia produktif daripada pasien laki-laki. Persentasenya 90:10.

Faktor hormon dituding sebagai pemicunya. Meningkatnya angka pertumbuhan penyakit lupus sebelum periode menstruasi atau selama kehamilan mendukung dugaan bahwa hormon estrogen memicu lupus.

Kisaran usia pasien yang banyak dihinggapi lupus antara 15-44 tahun. Namun, pada prinsipnya lupus dapat menyerang siapa pun dan tak terbatas usia.

Diungkapkan Zubairi, meskipun lebih banyak menyerang perempuan, bukan berarti laki-laki aman dari lupus. Pada laki-laki, gejala lupus akan lebih berat ?Yang jelas, perempuan masih boleh hamil dan punya anak,? kata dia.

Selama ini, ibu hamil penderita lupus dapat melahirkan dengan aman. Bayi yang dilahirkan pun tidak tertular. ?Hanya 7 persen saja yang dijumpai menurun,? lanjut Zubairi.

Bukti bahwa lupus bukan penyakit genetik salah satunya dijelaskan dengan bayi kembar yang dilahirkan dari ibu dengan lupus. Pada salah satu bayi lupus, hanya 30 persen kemungkinan mengenai bayi kembarannya.

Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor lingkungan lain yang lebih penting ketimbang faktor genetik.

Faktor penyebab

Selain faktor keturunan yang amat kecil kemungkinannya, faktor lingkungan juga diduga menyebabkan lupus, seperti infeksi, stres, makanan, antibiotik, sinar ultraviolet, dan penggunaan obat-obat tertentu.

Faktor hormon estrogen pada perempuan juga disinyalir berperan dalam mencetuskan lupus, meskipun hingga kini belum diketahui jenis hormon penyebab besarnya.

Penyebab lainnya adalah sinar ultraviolet yang dapat merangsang peningkatan hormon estrogen dan mempermudah reaksi otoimun.

Beberapa hal di atas pula yang berpotensi memicu lupus kambuh. Karena itu, selain mengatur diri, kualitas hidup pasien lupus juga terkait erat dengan dukungan keluarga dan penanganan dokter yang tepat.

Ditegaskan Zubairi, pengobatan yang tepat merupakan bagian yang tidak boleh terpisahkan demi kualitas hidup pasiennya. Persoalannya, mendiagnosa lupus tidak mudah dan tidak semua dokter jeli melakukannya.

Padahal, salah memberi obat justru akan membuat pasien lupus makin menderita parah. ?Jangan sampai pasien lupus dengan keluhan seperti rematik, misalnya, diberi obat rematik. Fungsi dan dampaknya jauh beda,? katanya.

Pengobatan

Seiring kemajuan teknologi kedokteran, telah ditemukan jenis pengobatan baru. Salah satunya LymphoStat-B yang bekerja menghambat protein yang merangsang limfosit B. Limfosit B adalah sel yang berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi yang salah arah dan merusak organ tubuh.

Berkurangnya produksi antibodi membuat aktivitas penyakit lupus menjadi lebih mudah dikontrol. Selama ini, pengobatan memang lebih ditujukan untuk mengontrol penyakit sehingga tidak terus-menerus kambuh.

Pengobatan intensif selanjutnya diteruskan dengan pemeliharaan dengan mengonsumsi obat-obatan tertentu sesuai jenis lupus yang dideritanya.

Untuk jenis SLE, salah satu jenis pengobatan yang sedang diteliti adalah dengan pencangkokan sumsum tulang, yang hasilnya cukup memberi harapan.

Kini, seiring temuan pengobatan yang lebih baik, daya bertahan pasien mencapai 80 persen dibandingkan dengan tahun 1970-an lalu yang hanya 50 persen. Di Indonesia, memang masih tertinggal dari negara-negara maju.

Akan tetapi, seperti diungkapkan Zubairi, penanganan pasien lupus yang tepat sejak awal didukung keluarga dan pola hidup, pasien dapat sembuh total. Pendek kata, peniru ulung yang butuh penelitian lebih lanjut tersebut juga dapat ditaklukkan.